Isra Mi’raj atau Mi’raj Isra?
Sejak dahulu peristiwa Isra dan Mi’raj menimbulkan saling silang pendapat tentang apakah kejadian itu terjadi dalam satu malam atau tidak, Mi’raj dulu atau Isra dan apakah terjadi secara rohani atau jasmani. Apapun paham tersebut jika selama itu didukung oleh bukti otentik dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan rasionalitas maka sah-sah saja. Untuk itulah as-Salam kali ini menampilkan suatu pandangan baru dalam mengkaji peristiwa ini yang seakan-akan sudah “baku” sebagai Isra Mi’raj dan bukan Mi’raj Isra.
Maha suci Dia yang telah menjalankan hamba-Nya pada waktu malam dari masjid Haram ke masjid Aqsa… ( Bani Israil : 1 ). Sebagian ahli tafsir Alquran menunjuk ayat ini kepada Mi’raj (kenaikan rohani) Rasulullah SAW. Berlawanan dengan pendapat umum, as-Salam kali ini ingin menyorot dari sisi lain kejadian Isra yang mungkin berbeda dengan pendapat umum bahwa ayat di atas membahas masalah Isra (perjalanan rohani di waktu malam dan bukan dengan tubuh kasar/jasmani) Rasulullah SAW dari Mekkah ke Yerusalem dalam kasyaf, sedangkan Mi’raj telah dibahas terpisah dan terperinci dalam surah an-Najm. Semua kejadian yang disebut dalam surah an-Najm (ayat-ayat 7 – 17) yang telah diwahyukan tidak lama sesudah hijrah ke Abessinia, yang telah terjadi di bulan Rajab tahun ke 5 Nabawi, di ceritakan dalam buku-buku hadis yang membahas Mi’raj Rasulullah SAW, sedangkan Isra Rasulullah dari Mekkah ke Yerusalem, yang di bahas oleh ayat di atas, menurut Zulqarni ( Az-Zarqani jilid I, hal.306) terjadi pada tahun ke 11 Nabawi; menurut Muir (Sir William Muir) terjadi pada tahun 12 Nabawi. Tetapi menurut Mardawaih, Ibn Sa’d, peristiwa Isra terjadi pada 17 Rabiul Awal, setahun sebelum Hijrah (al-Khaskhaish al-Kubra jilid I hal. 163).
Dengan demikian semua hadis yang bersangkutan dengan persoalan ini menunjukkan bahwa Isra itu setahun atau enam bulan sebelum hijrah yaitu kira-kira pada tahun ke 12 Nabawi, setelah Siti Khadijah wafat yang terjadi pada tahun ke 10 Nabawi, ketika Rasulullah SAW tinggal bersama-sama dengan Ummi Hani, saudari sepupu beliau SAW. Sedangkan Mi’raj terjadi kira-kira pada tahun ke 5 Nabawi. Dengan demikian dua kejadian itu dipisahkan satu dengan yang lain oleh jarak waktu enam atau tujuh tahun dan oleh karenanya kedua kejadian itu tidak mungkin sama, yang satu harus dianggap berbeda dan terpisah dari yang lain. Lagi pula peristiwa-peristiwa yang menurut hadis terjadi dalam Mi’raj Rasulullah SAW sama sekali berbeda dalam sifatnya dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam Isra. Secara sambil lalu dapat disebutkan disini, bahwa kedua kejadian itu hanya peristiwa sacara rohani, dan Rasulullah SAW tidak naik ke langit atau pergi ke Yerusalem dengan tubuh kasar (lihat Sirat ibn Hisam, Juz I dan Jadul Mi’ad Juz I, hal.217)
Kecuali kesaksian sejarah yang kuat ini, ada pula kejadian-kejadian lain yang berkaitan dengan peristiwa itu mendukung pendapat, bahwa kejadian itu sama sekali berbeda dan terpisah satu sama lain: (1) Alquran menguraikan kejadian Mi’raj Rasulullah SAW dalam surah an-Najm, tetapi sedikitpun tidak menyinggung Isra, sedang dalam Surah Bani Israil Alquran membahas soal Isra, tetapi sedikit pun tidak menyinggung peristiwa Mi’raj. (2) Ummi Hani, saudari sepupu Rasulullah SAW yang dirumahnya beliau SAW menginap pada malam peristiwa Isra terjadi, hanya membicarakan perjalanan Rasulullah SAW ke Yerusalem dan sama sekali tidak menyinggung kenaikan beliau SAW ke langit. Ummi Hani merupakan orang pertama yang kepadanya Rasulullah SAW menceritakan perjalanan beliau di waktu malam ke Yerusalem, dan paling sedikit tujuh penghimpun riwayat-riwayat hadis telah mengutip keterangan Ummi Hani mengenai kejadian ini, yang bersumber pada empat perawi yang berlainan. Semua perawi ini sepakat, bahwa Rasulullah SAW berangkat ke Yerusalem dan pulang kembali ke Mekkah pada malam itu juga.
Jika sekirangnya Rasulullah SAW telah membicarakan pula kenaikan beliau ke langit, tentu Ummi Hani tidak akan lupa menyebutkan hal ini dalam salah satu riwayatnya. Tetapi beliau tidak menyebut hal itu dalam satu riwayat pun. Dengan demikian menunjukkan dengan pasti, bahwa pada malam bersangkutan itu Rasulullah SAW melakukan Isra hanya sampai ke Yerusalem dan Mi’raj tidak terjadi pada saat itu. Nampaknya beberapa perawi hadis mencampur-baurkan kedua peristiwa Isra dan Mi’raj itu. Rupanya mereka terkecoh oleh kata Isra yang dipergunakan baik untuk Isra maupun untuk Mi’raj. (3) hadis-hadis yang mula-mula meriwayatkan perjalanan Rasulullah SAW ke Yerusalem dan selanjutnya mengenai kenaikan beliau dari sana ke langit, menyebut pula bahwa di Yerusalem beliau bertemu dengan beberapa Nabi terdahulu, termasuk Adam a.s, Musa a.s., dan Isa a.s., dan diberbagai petaka langit beliau menemui kembali nabi-nabi yang itu juga, tetapi tidak dapat mengenal mereka. Bagaimanakah nabi-nabi tersebut yang telah beliau jumpai di Yerusalem, sampai pula ke langit sebelum beliau; dan mengapa beliau tidak mengenali mereka, sedang beliau telah melihat mereka beberapa saat sebelumnnya dalam perjalanan itu-itu juga? Tidaklah masuk akal, bahwa beliau tidak mengenal mereka, padahal hanya beberapa saat sebelum itu, beliau bertemu dengan mereka dalam perjalanan itu juga. (4) diceritakan pula bahwa ketika Rasulullah SAW disodorkan tiga macam minuman terdiri dari arak, susu dan air dan ketika Rasulullah SAW memilih dan meminum susu, maka Malaikat Jibril menjelaskan bahwa susu itu perlambang fitrah sedangkan air melambangkan kesenangan dunia. Padahal kenyataan kehidupan sehari-hari Rasulullah SAW biasa meminum air bening. (5) pada zaman Rasulullah SAW di Yerusalem belum ada masjid Islam yang bernama Masjidil Aqsa, sebab masjid Aqsa baru didirikan setelah Palestina jatuh ke dalam kekuasaan Islam di zaman Khalifah Umar bin Khattab r.a. yang ada di Yerusalem pada masa Rasulullah SAW adalah rumah suci (Kenisah) Bani Israil yang di bangun oleh Nabi Sulaiman a.s. yang disebut Baitul muqaddas.
Hikmah dari Kejadian Mi’raj dan Isra
Hikmah dalam Mi’raj Rasulullah SAW: pertama, sebagai hujjah terhadap orang-orang Yahudi. Nabi Musa a.s. telah berkata bahwa kemudian dari pada beliau akan datang seorang Nabi seperti beliau. Dalam kitab Mukasifati Musa, ada keterangan tentang Mi’raj Nabi Musa a.s. maka dengan adanya Mi’raj Nabi Muhammad SAW itu, sempurnahlah persamaan Nabi Muhammad dengan Nabi Musa a.s.. Kedua, sebagai hujjah pula terhadap kaum Nasrani. Dalam Injil Wahyu kepada Yohanes ada keterangan bahwa Yohanes telah melihat seseorang naik ke langit dengan kuda putih (Wahyu kepada Yohanes 19: 11). Maka dengan Mi’raj Rasulullah SAW itu, sempurnalah penglihatan Yohanes tersebut. Dan Nabi Muhammadlah yang dijanjikan dalam kitab Injil itu.
Ketiga, Mi’raj juga merupakan petunjuk kearah kemajuan bagi umat Islam di dalamnya terdapat beberapa contoh bagi umat Islam, apa sebab-sebab mereka akan mundur kembali. Oleh karena itu sangat penting cerita Mi’raj dan Isra ini sebagai pedoman hidup bagi umat Islam.
Adapun hikmah dalam Isra Rasulullah SAW Pertama Dari nubuatan berupa Isra (perjalanan pada malam hari) yang artinya dari masjid yang jauh adalah berupa hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari kota Mekkah ke Madinah karena penduduk Mekkah saat itu tidak mensukuri nikmat terbesar yang dikaruniakan Allah Taala kepada mereka berupa diutusnya Nabi Muhammad SAW (Qs. Al-Jumu’ah: 2). Hijrah inilah yang merupakan langka awal dari proses takluknya penduduk kota Mekkah kepada kaum Muslimin pada peristiwa fatah mekkah.
Kedua dari kejadian Isra adalah berupa diwasiatkannya Palestina (negeri yang dijanjikan) yang di dalamnya terdapat baitul muqadas kepada Nabi Muhammad SAW pada zaman Hadhrat Umat bin Khattab r.a. (al-Anbiyah: 106). Ketiga, sebagaimana yang tersurat bahwa Rasulullah SAW diperjalankan pada malam hari bisa berarti menunjuk benar-benar pada malam hari tetapi juga mengandung arti antara lain malam kegelapan akhlak rohani atau malam kemunduran suatu kaum. Hal ini merujuk pada malam kemunduruan yang akan dialami oleh umat Islam setelah mengalami masa kecemerlangan selama tiga (3) abad.(lihat Qs. As-Sajdah: 5 dan